Skip to main content

MENENTUKAN KEDALAMAN TITIK DI LAUT

Laut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kita. Hampir 75% permukaan Bumi diselimuti oleh lautan dan 1/ 3 luas wilayah negara kita terdiri dari laut. Indonesia dianugrahi nikmat geografis dari tuhan semesta alam berupa laut yang luas, oleh karenanya negara kita disebut sebagai Negara Maritim. Laut merupakan salah satu sumber daya yang patut kita banggakan. Di dalam laut terkandung berbagai flora, fauna, mineral dan lain-lain yang dapat mensejahterakan Rakyat Indonesia. Pada entri kali ini saya akan  membahas “ Cara menentukan kedalaman laut” karena bidang ilmu saya (Geodesi/Geomatika) yang memiliki fokus kajian utama menentukan posisi suatu titik di permukaan bumi sudah barang tentu mempelajari hal tersebut. Telah kita ketahui bahwa posisi suat titik dinyatakan dalam suatu koordinat yang memiliki kerangka referensi tertentu. Hal tersebut juga berlaku untuk titik-titik yang berada di dasar Lautan.

B. SURVEI HIDROGRAFI

Teknik penentuan posisi suatu titik di lautan adalah melalui suatu survei. Survei khusus dalam bidang keilmuan Geodesi/Geomatika yang membahas penentuan posisi suatu titik di lautan adalah Survei Hidrografi (Hydrographic Survey). Survei hidrografi ini memiliki tujuan utama mendapatkan Peta Batimetri (Sciortino 2010), yaitu peta yang menggambarkan bentuk konfigurasi dasar laut yang dinyatakan dalam angka dan garis kedalaman (Atmadilaga 2010).  Secara umum peta batimetri memuat garis-garis kedalaman laut (kontur), dan detil situasi daerah pesisir. Di Indonesia instansi yang mengeluarkan peta batimetri adalah Badan Informasi Geospasial (Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI)) dan Dinas Hidro-Oseanografi (Dishidros) TNI-AL.
Survei Hidrografi umumnya terbagi dalam 4 kegiatan utama yaitu:
1.      Pengukuran Kedalaman,
2.      Pengukuran Pasang Surut,
3.      Pengukuran Detil Situasi Pesisir,
4.      Pengukuran Beda Tinggi terhadap Titik Referensi (Bench Mark).
Entri ini hanya akan membahas poin 1, poin 2,3 dan 4 akan dibahas pada entri-entri selanjutnya, jadi kunjungi terus laman dedykur.blogspot.com.

C.     PENGUKURAN KEDALAMAN TITIK

Secara manual kedalam suatu titik di perairan (termasuk lautan) dapat diukur menggunakan mistar ukur / tali yang ditenggelamkan sampai ke dasar perairan (Gambar 1). Namun tentunya hal tersebut banyak memiliki kekuragan, seperti: kedalaman yang dapat diukur terbatas, terpengaruh oleh arus perairan, membutuhkan waktu yang lama dan tenaga ekstra.

Gambar 1. Pengukuran Kedalaman Secara Manual (Sciortino 2010)

Dewasa ditemukan metode pengukuran kedalaman menggunakan teknik optik (LIDAR) dan teknik akustik menggunakan sebuah alat yang dinamakan echosounder. Echosounder adalah alat yang dapat mengukur kedalaman suatu titik di perairan dengan memanfaatkan sifat patulan gelombang suara. Alat ini memiliki sebuah transducer yang terdiri dari transmiter (pengirim gelombang suara) dan receiver (penerima pantulan gelombang suara). Jarak diperoleh dengan persamaan berikut (Potts dan Farrell 2011).
s = v.t/2.................................................................................(1)
Dimana:
s = jarak (kedalaman) dalam satuan meter
v = kecepatan gelombang suara ( 344 m/detik )
t = waktu tempuh dalam satuan detik

Dengan persamaan pantulan gelombang (persamaan 1), secara otomatis echosounder dapat memberikan data kedalaman dari tranducer sampai titik dasar perairan (titik pantul gelombang). Saat ini terdapat dua jenis echosounder yaitu Single Beam Echosounder (SBEs) dan Multi Beam Echosounder (MBEs). Perbedaan keduanya terletak pada jumlah gelombang (beam) yang dipancarkan. Semakin banyak gelombang suara yang dapat di pancarkan, semakin banyak pula data kedalaman titik dasar laut yang didapatkan, sehingga MBEs lebih teliti apabila dibandingkan dengan SBEs. Data kedalaman secara otomatis akan disimpan dalam data loger dan disajikan dalam sebuah monitor (Gambar 2).

Gambar 2. Pengukuran manual dengan tali, SBEs, MBEs (Dari Kiri – Kanan), (Dierssen dan Theberge Jr 2014)

Echosounder memberikan data kedalaman titik dari trandusernya, sehingga untuk mendapatkan kedalaman titik dari permukaan air (saat dilakukan pengukuran), perlu ditambahkan dengan data jarak tranduser dari permukaan air.


Gambar 3. Konfigurasi Kedalaman Titik Dasar Laut dengan Echosounder (Desain Penulis)


Dari gambar 3 diatas dapat disimpulkan kedalaman titik tertentu dari permukaan air (saat itu) dapat diperoleh dengan persamaan berikut:
dt = zt + st................................................................ (2)
Keterangan:
dt         = Kedalaman yang terkoreksi tranduser
zt          = Bacaan Kedalaman Titik dari Tranduser
st          = Jarak Traduser dari Permukaan air

Selanjutnya data kedalaman yang telah terkoreksi masih harus dikoreksi dengan bacaan level permukaan air yang diperolah dari pengukuran pasang surut. Karena permukaan air selalu mengalami pergerakan naik turun yang periodik atau disebut pasang surut, sehingga pengukuran kedalaman kadang berada pada kondisi permukaan air naik (pasang) atau pada kondisi permukaan air turun (surut). Parameter yang digunakan untuk mensinkronkan data pengukuran kedalaman dan data pengamatan pasang surut adalah waktu (Gambar 4).

  
Gambar 4. Konfigurasi Pengukuran Kedalaman dengan Pengamatan Pasang Surut (Desain Penulis)
Selain Menggunakan Echosounder kedalaman titik-titik di dasar laut juga dapat diketahui dengan survei lidar (sensor aktif, khusus hijau dan merah)


Gambar 5. Penggunaan Lidar dalam Batimetri (Dierssen dan Theberge Jr 2014)


Gambar 6. Perbandingan Ketelitian Instrumen dalam Pengukuran Kedalaman di Perairan (Dierssen dan Theberge Jr 2014)

D.    PENGIKATAN DENGAN TITIK REFERENSI DARAT

Sebagaimana yang telah dibahas pada bagian “Survei Hidrografi”, Peta batimetri memuat garis-garis kedalaman laut (kontur), dan detil situasi daerah pesisir. Sehingga diperlukan referensi tinggi yang sama antara pengukuran detil situasi yang dilakukan di darat (pesisir) dengan pengukuran kedalaman yang dilakukan dengan echosounder. Sehingga sangat penting keberadaan suatu titik referensi (bench mark) di darat, sebagai referensi posisi vertikal (z) titik. Biasanya survei-survei hidrografi yang dilakukan di Indonesia memanfaatkan titik-titik referensi dari Badan Informasi Geospasial (BIG) dan/atau Badan Pertanahan Nasional yang telah memiliki data koordinat. Kalaupun tidak ada keduanya dilakukan pembuatan titik referensi baru yang permanen.
Pengukuran yang dilakukan untuk mengikatkan nilai kedalaman yang didapatkan dari proses pemeruman (sounding) adalah pengukuran beda tinggi dengan menggunakan alat sipat datar (waterpass). Pengukuran tersebut tidak perlu dilakukan pada setiap titik yang disounding (diukur kedalamannya), melainkan hanya dilakukan sekali pada titik yang diguakan untuk pengamatan pasang surut (stasiun pasang surut) seperti disajikan pada .


Gambar 7. Pengukuran Beda Tinggi Titik Referensi (BM) terhadap Titik Pengamatan Pasang Surut (Desain Penulis)
Selanjutnya Elevasi titik di dasar laut menggunakan bidang referensi yang sama dengan Titik BM (Bench Mark) didapatkan dengan menggunakan persamaan berikut:
Hfix= (Hbm -  ................................................................ (5)
Keterangan:
Hfix     = Elevasi titik di dasar laut fix (untuk ploting pada peta batimetri)
dt         = Kedalaman Titik Perum yang sudah terkoreksi tranduser
TWLt   = True Water Level pada waktu t (disesuaikan dengan kebutuhan, dapat menggunakan MSL, MLWL dll)
Hbm    = Elevasi BM dengan referensi tertentu (misal WGS 1984)
       =Beda Tinggi Titik Referensi terhadap Titik Pasut (nol pasut)



Gambar 8. Konfigurasi Koreksi Pasang Surut terhadap Data Kedalaman (Potts dan Farrell 2011)

E.     PERENCANAAN PENGUKURAN KEDALAMAN

Survei untuk mendapatkan kedalaman titik di laut (Pengukuran Kedalaman) atau biasa disebut pemeruman/sounding memerlukan beberapa perencanaan diantaranya:
1.      Perencanaan Jalur Pemeruman
2.      Perencaaan Stasiun Pengamatan Pasang Surut
3.      Perencanaan Penjadwalan, Personal, Peralatan dan Anggaran Biaya
Semua perencanaan diatas bisa dilakukan setelah dilakukan orientasi lapangan (survei pendahuluan di lap
angan, untuk mengetahui kondisi riil di lapangan). Hal tersebut dilakukan agar semua kemungkinan yang terjadi dapat direncanakan dan diantisiapsi.



 

Anugrah, Hamdi, Hariadi, dan Muhammad Helmi. “Pemetaaan Kedalaman Perairan Sebagai DasarEvaluasi Pembangunan PLTU Sumuradem Kabupaten Indramayu.” Jurnal Oseanografi, 2015: 533-540.
Atmadilaga, Agus Hermawan. Kamus Survei dan Pemetaan. Bandung: Badan Sertifikasi Asosiasi: Ikatan Surveyor Indonesia, 2010.
Dierssen, Heidi M, dan E Albert Theberge Jr. “Bathymetry: Assesing Methods.” Encycopedia of Natural Resources, 2014.
Potts, V Laramie, dan Stephen Farrell. Hydrographic Surveying. New Jersey: New Jersey's Science & Technology University, 2011.
Sciortino, J A. Fishing Harbour Planning, Construction and Management. Rome: Food and Agriculture Organizations of The United Nations, 2010.

Catatan Materi dalam bentuk PDF dapat diunduh secara gratis DI SINI

TERIMA KASIH, SELAMAT MEMBACA !
Surabaya, 5 Juni 2016
Dedy Kurniawan

Mohon melampirkan sumber penulisan materi jika menggunakannya, dan mohon Berikan komentar baik kritik maupun saran :D



Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Simbologi Garis Batas Administrasi

Pendahuluan Alhamdulillah Allah masih memberikan kesempatan kepada saya untuk berbagi melalu entri pada blog ini. Kronologi munculnya blog ini adalah pada suatu hari saya mendapatkan pekerjaan pembuatan peta administrasi suatu desa, nah dalam tahapterakhir penyajiannya sebelum penyetakan yaitu tahap layouting (pengaturan tata letak peta), saya mengalami kendala dalam melakukan symbologi (pembuatan simbol-simbol ) pada peta. Poin masalahnya terletak pada pembuatan simbol garis batas administrasi. Kita semua tahu dan paham bahwa garis-garis batas administrasi pada peta harus dibedakan sesuai tingkat administrasinya. Misalnya garis batas antar negara tentu berbeda dengan garis batas antar provinsi, garis batas antar provinsi tentu berbeda dengan garis batas antar kabupaten/kota begitu seterusnya sampai batas administrasi terendah (Rukun Tetangga misalnya). Salah satu aturan tertulis yang mengatur hal ini adalah Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial (PERKABIG) No 3 Tahun 201

Membuat Nomor Halaman Romawi dan Angka Arab dalam Satu File

A. Pendahuluan Setelah sharing cara membuat Daftar Isi dengan bantuan Microsoft Word Kemarin , Entri kali ini akan membahas cara enomoran halaman pada karya tulis. Karya tulis umumnya meminta penomoran dalam 2 jenis angka, yaitu Angka Romawi (i, ii, iii dst.) dan Angka Arab / Biasa (1, 2, 3 dst.). Namun kadang juga terdapat karya tulis yang memiliki aturan penomoran halaman yang rumit. Kita menngunakan contoh, aturan Penulisan Nomor Halaman pada Laporan Tugas Akhir di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya sebagai berikut: 1. Bagian Awal diberi halaman dengan angka Romawi dengan huruf  kecil (i, ii, iii, iv, v,... dst) diletakkan pada bagian bawah di tengah  halaman 2. Bagian Inti/Pokok atau Batang Tubuh dan Akhir diberi nomor urut  dengan angka Arab, dimulai dengan angka 1 dan dimulai dari bab  Pendahuluan sampai dengan lampiran 3. Nomor halaman ditulis diatas (header) sebelah kanan untuk  halaman gasal dan sebelah kiri untuk halaman genap, kecuali  halaman pe

Hati-hati dengan kata "Halah" dan "Sek"

Proses penyelesaian tugas akhir beserta pernak perniknya di semester 8 ini membuat saya sadar dengan bahayanya kata-kata bahasa jawa "Halah" dan "Sek" (dalam Bahasa Indonesia diartikan "Kan Masih" atau "Nanti Saja" ). Biasanya kata-kata tersebut kita gunakan utuk menjawab pertayaan lawan bicara kita ketika kita diajak untuk mengerjakan sesuatu, misalnya seperti dialog berikut: Lawan Bicara: Ayo Sholat Rek, Wes Adzan KaeLo (Ayo Sholat, sudah adzan itu lho !) Kita: Halah sek gurung komat, sholat engko ae (Kan masih belum Iqomah, sholat nanti saja !) atau dialog ini: Lawan Bicara: Ayo sinau bareng, sesok enek kuis lho (Ayo Belajar bersama, besok kan ada kuis !) Kita: Halah bengi sek dowo, Engko wae sinaune (Kan malam masih panjang, nanti saja belajarnya!) intinya kata "Halah" dan "Sek"itu digunakan karena kita ingin menunda untuk melakukan sesuatu. Nah pada entri ini saya ceritakan pengalaman saya karena serin